Membahas tentang perempuan tentu tidak lengkap tanpa menyebutkan kriteria perempuan idaman, terlebih lagi bagi lajang seperti saya. sejak pertama kali memasuki masa puber sampai memasuki usia dua puluh tahun, saya telah memiliki beberapa kriteria untuk merujuk pada perempuan idaman saya. Meski secara rinci kriteria-kriteria itu berubah seiring dengan waktu dan bertambahnya pemahaman saya, namun pada garis besarnya sama. saya ingin seorang perempuan yang sempurna seperti bidadari.

Dulu, waktu masih remaja, kriteria seperti bidadari itu saya terjemahkan murni pada kecantikan fisik, yang hidungnya mancung, kulitnya putih, rambutnya lurus panjang, yang tinggi dan berat badannya proposional, yang sifatnya begini, yang tutur katanya begitu, dan masih banyak lagi lainnya.

Begitu memasuki usia akhir belasan tahun, kriteria itu berubah. Cantik masih masuk dalam daftar kriteria, tapi tidak lagi seribet dulu, yang penting enak di pandanglah! Posisinya pun bergeser ke nomor dua. Posisi jawara dalam deretan definisi saya tentang seperti bidadari kali ini diisi oleh kriteria-kriteria afektif dan spiritual.

Bagi saya pada usia dua puluhan perempuan yang seperti bidadari adalah perempuan yang ibadahnya bagus, akhlaknya mulia, menutup aurat, cerdas  nyambung kalau diajak ngobrol, bisa menghargai suami, dan (ini tidak kalah penting) bisa menjadi ibu yang sempurna untuk anak-anak saya nanti.
Sempurna kan?

 Memang sempurna tapi justru terlalu sempurna. Saat saya menceritakan ini kepada seorang  teman , dia menatap saya sambil mengangkat alisnya beberapa detik, lalu menggeleng dan bertanya singkat, "Emang, siapa kamu?"

Mendengar pertanyaan itu, tentu saja saya panas. Dengan berapi-rapi saya menjelaskan pentingnya mencari seorang istri yang sempurna.
Istri tidak hanya menjadi teman hidup, tapi juga rekan berjuang di masyarakat. Istri yang sempurna tentu akan terus berusaha menyemangati dan mendukung langkah-langkah saya. Istri yang sempurna tentu tidak akan mengeluh jika ia harus hidup menderita dan menyikapinya sebagai sebuah perjuangan. Istri yang sempurna tidak hanya baik untuk saya, sebagai suami, tapi juga baik untuk anak-anak kami nanti....

Teman saya itu memotong dengan  pertanyaan yang masih sama, "Iya tahu. Tapi siapa kamu?"

Saya  merengut kesal mendengar pertanyaannya. Tapi saya sadar bahwa penjelasan panjang tadi memang tidak menjawab pertanyaannya. Akhirnya, saya pun memutuskan untuk menjawab pertanyaannya yang sebenarnya.
"Saya Arief", Saya jawab dengan pendek.
"Dan Arief itu adalah manusia biasa, kan?"
"Yang banyak melakukan salah dan dosa, kan?" tanyanya lagi.
 Saya cuma mengangguk.
"Kalau kamu manusia biasa kenapa cari yang sempurna? ngga ada tuh manusia yang sempurna. Setahuku yang sempuna itu hanya satu, Allah. Kamu mau nikah sama Tuhan?
Emang bisa gitu, manusia nikah sama tuhan?"

Saat itu hati saya di penuhi dengan pemikiran yang

Artikel Lainnya :

Komentar
Comments
0 Comments

Silahkan tulis komentar anda

 

Rifuzzy Blogs Copyright © 2011 -- Template created by Blogger -- For Rifuzzy