1. Seorang yang Puasa Dibolehkan Memasuki Waktu Subuh dalam Keadaan Junub
Diriwayatkan dari Aisyah dan Ummu Salamah -radhiallahu 'anhuma: "Bahwasanya Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam memasuki waktu subuh dalam keadaan junub karena jima' dengan istrinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa." (HR. Bukhari dan Muslim) |
Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: "Kalaulah tidak memberatkan umatku niscaya aku suruh mereka untuk bersiwak setiap kali wudhu". (HR. Bukhari dan Muslim) Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam tidak mengkhususkan orang yang puasa ataupun yang lainnya, ini sebagai dalil disunnahkan bersiwak (gosok gigi) bagi orang yang puasa dan lainnya setiap wudhu dan shalat. Demikian pula hal ini umum di seluruh waktu, baik sebelum zawal (tergelincir matahari) atau setelahnya. Namun sebaiknya orang yang sedang berpuasa tidak menggunakan pasta gigi karena ada rasa dan aroma kuat yang dikhawatirkan ikut tertelan bersama ludah. Wallahu a'lam. (“Majalis Syahr Ramadhan” hlm 112. Karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin dan kitab “48 Su’aalan Fi Ash-Shiyam Ajaba Alaiha Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin” hlm 63). |
Karena Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam berkumur dan beristinsyaq dalam keadaan puasa, tetapi melarang orang yang berpuasa berlebihan ketika istinsyaq (memasukan air ke hidung) Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: "…..dan bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq kecuali apabila kamu dalam keadaan puasa." (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, Imam Ahmad dll dengan sanad sahih). |
Ibunda Aisyah –Radhiallahu ‘Anha pernah berkata: "Bahwasanya Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam mencium (isterinya) dalam keadaan puasa dan bercengakrama (bercumbu) dalam keadaan puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling bisa menahan diri." (HR. Bukhari dan Muslim). Hal ini diperbolehkan bagi mereka yang bisa menahan diri untuk tidak sampai keluar air mani atau menjurus kepada jima’. |
Semua ini bukan pembatal puasa karena tidak ada dalil yang mengatakan batalnya puasa dengan hal-hal tersebut. Keterangan lebih lanjut dibahas dalam pembatal-pembatal puasa. (“Majalis Syahr Ramadhan” hlm 103. Karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin). |
Hal ini dibatasi selama tidak sampai tenggorokan dan tidak ditelan, berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas –Radhiallahu ‘Anhuma: “Tidak mengapa mencicipi kholl (cuka) atau sesuatu yang lain dalam keadaaan puasa selama tidak sampai ke tenggorokan.” (HR.Bukhari secara mu’allaq, dimaushulkan Ibnu Abi Syaibah dan Al-Baihaqi dengan sanad hasan). |
Semua ini tidak membatalkan puasa, baik rasanya sampai di tenggorokan atau tidak, karena semua ini bukan makan dan minum dan tidak sama dengan makan dan minum. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah dalam risalahnya yang bermanfaat “Haqiqatus Shiyam”, serta muridnya Ibnul Qoyyim –rahimahullah dalam kitabnya ‘Zaadul Ma’ad”, juga para ulama yang lainnya seperti Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin–rahimahullah dll. Imam Bukhari –rahimahullah berkata dalam kitab “Shahih Bukhari”: “Anas bin Malik, Hasan Al-Bashri dan Ibrahim An-Nakhai’ memandang tidak mengapa memakai celak (sipat) bagi orang yang berpuasa.” (“Majalis Syahr Ramadhan” karya Syaikh Utsaimin, hlm 110 dan “Sifhat Shoum Nabi “ hlm 56). |
Fadhlilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin –rahimahullah berpendapat bahwa memakai obat seperti ini tidaklah membatalkan puasa karena tidak sampai masuk ke dalam perut dan tujuannya adalah untuk membuka saluran napas sehingga seorang yang sesak napas bisa bernapas kembali dengan lega dan normal. Beliau berpendapat bahwa hal ini bukanlah makan dan minum dan tidak sama dengan makan dan minum yang sampai masuk ke dalam perut. (Kitab “48 Su’aalan Fi Ash-Shiyam Ajaba Alaiha Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin” hlm 62-63, jama’ wa tartib: Salim bin Muhammad Al-Juhani). |
Bukhari menyatakan di dalam kitab “Shahih Bukhari”: (Bab Mandinya Orang yang Puasa), Ibnu Umar –radhiallahu anhuma membasahi bajunya kemudian dia memakainya ketika dalam keadaan puasa (membasahi dengan air untuk mendinginkan badannya karena haus ketika puasa). Asy-Sya’biy -rahimahullah masuk kamar mandi dalam keadaan puasa. Al-Hasan -rahimahullah berkata: “Tidak mengapa berkumur-kumur dan memakai air dingin (untuk mendinginkan badan) dalam keadaan puasa.” Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam mengguyurkan air ke kepalanya dalam keadaan puasa karena haus atau kepanasan.” (HR. Abu Dawud dan Imam Ahmad dengan sanad sahih. “Shifat Shoum Nabi“ Karya Syaikh Salim Al-Hilaly dan Syaikh Ali Hasan, hlm 56 dan “Majalis Syahr Ramadhan” karya Syaikh Utsaimin, hlm 1112-113). [Abdullah Shaleh Hadrami/ASH] |
Sumber